Kamis, 09 Juli 2009

sedikit mengenai pembelajaran etika politik...

Semalam saya menonton tv, belakangan ini ramai dengan pemberitaan seputar PILPRES... yang cukup disoroti kali ini yaitu ketika Pak JK berkomunikasi dengan Pak SBY melalui telepon selularnya. banyak pihak yang cukup "terharu" dengan adegan ini, katanya hal tersebut menunjukkan sikap yang santun dari para pemimpin kita dan membawa atmosfer demokratis yang baik di negara Indonesia. tapi ada juga pihak yang menyangsikan sikap Pak JK, yang pada hari Rabu 8 Juli lalu masih belum mengakui kemenangan Pak SBY-Boed dengan alasan hasil masih merupakan hasil sementara qiuck count. apakah yang beliau lakukan hanya basa-basi karena mereka berdua masih dalam satu atap kantor yang sama, setidaknya untuk menjaga sikap... tapi saya sih seneng aja dengan akurnya mereka setelah terjadi "perang" sebelumnya. semoga ini menjadi pembelajaran politik yang baik bagi pemimpin lain dan masyarakat Indonesia...

teringat akan mereka...

Tadi pagi ketika berangkat ke kampus aku se-angkot dengan ibu tetangga, kami cukup banyak bercerita mulai dari bersamaan naik angkot sampai aku turun di dekat stasiun Bogor. Beliau berbagi cerita tentang putra-putrinya yang kini sudah menikah dan bekerja di luar kota, bahkan luar pulau. Yah, aku jadi inget ibu sama bapak! Baru aja kemaren aku dan abangku mengantarkan “si adik kecil” mencari tempat kost di Bandung. Berarti sebentar lagi ibu dan bapak bakalan cuma berdua di rumah…

Malam sebelumnya aku iseng nanya sama bapak “pak, bapak udah rela Billy kuliah di Bandung?” Beliau jawab “yah namanya juga anak sekolah, bapak mah rela”. Hiks… jadi kepengen nangis! Gak kerasa anak-anak bapak dan ibu udah gede, dan pasti suatu saat juga bakal “pergi” dari rumah kayak cerita si ibu tetangga tadi. Ibu tetangga yang lain juga pernah bilang padaku kalau ibuku bercerita padanya tentang aku dan abangku yang sekarang udah kerja, katanya ibu cerita sambil nangis saking senengnya dan terharunya. Padahal aku dan abangku kerja juga masih belajar dan masih jauh dari kata mapan, apalagi sampe bisa ngasih sesuatu buat ibu.

Aku jadi sedikit inget sama seorang ibu tua, kayaknya malah lebih tua dari nenekku, yang sering aku liat di stasiun Bogor. Ia berdiri dengan bertumpu pada sebuah tongkat sambil meminta belas kasihan orang yang lewat. Lalu pada seorang kakek tua yang sudah bungkuk berjalan kaki sendirian di sepanjang trotoar kebun raya. Inget dengan komentar bapak “duuhhh, kasian si aki! Anaknya kemana? Kalo nyasar atau gak inget jalan pulang gimana? Ntar kalo bapak udah tua jangan dibiarin jalan sendirian kayak gitu ya. Sekarang aja bapak udah pikun, apalagi kalo udah jadi aki-aki.” Dan ibu yang sering bilang “kalo ibu udah tua jangan dimasukkin ke panti jompo loh!” heheee…

Gak kebayang gimana kira-kira lima, sepuluh atau dua puluh tahun kedepan. Masihkah kedua orang tuaku bisa bersamaku? Pengennya habis lulus kuliah ini aku tinggal di Bogor nemenin ibu sama bapak yang mungkin udah pensiun, tapi kadang aku masih tetep kepengen bisa mengejar cita-cita juga… Belom lagi kalo udah nikah, gak tau bakal dibawa kemana sama suami (hihihiiiii..). Semoga dimudahkan untuk tetap menjaga dan merawat mereka, seperti mereka menjaga dan merawatku sewaktu aku masih kecil.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih saying dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mengasihiku sewaktu kecil’”. (Al-Israa’: 23-24)

Ya Allah, lindungilah keduanya karena Engkau Sebaik-baik Pelindung.

Rabu, 08 Juli 2009

Zaman Jahiliyah Modern

Ketika kita belajar Agama Islam waktu sekolah dulu, kita menganggap bahwa jahiliyah memiliki arti secara bahasa yaitu kebodohan, suatu zaman sebelum Rasul memperkenalkan Islam. Salah satu tokoh yang menggambarkan kejahiliyahan pada saat itu adalah Abu Jahl, pasti kita tidak asing lagi dengan namanya. Abu Jahl adalah nama populer dari 'Amr ibn Hisyam. Sesungguhnya ia merupakan tokoh quraisy yang ditakuti karena sifat kerasnya dan pernah mengakui bahwa dirinya adalah ‘aziizul kariim (orang perkasa lagi mulia). Ia menjadi salah satu penentang ajaran Rasul, dan “mengintimidasi” Abu Thalib (paman Rasul) untuk tetap menganut agama nenek moyang disaat beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Jahiliyah yang sering diartikan sebagai kebodohan, kemiskinan, atau keterbelakangan sepertinya tidak sejalan dengan apa yang dimiliki oleh Abu Jahl. Tetapi justru ialah biang kejahiliyahan, yang merabunkan pandangan masyarakat saat itu terhadap kebenaran, menutup telinga atas ajaran tauhid, dan menghalangi orang untuk beribadah kepada Allah.

Zaman jahiliyah tidak hanya terjadi pada zaman Rasul. Bahkan kondisi di masyarakat kita saat ini bisa disebut jahiliyah. Jahiliyah modern. Muhammad Quthb menyebutkan setidaknya ada empat kriteria suatu zaman dapat dikatakan zaman jahiliyah.

Pertama, tidak adanya iman yang sesungguhnya kepada Allah ta’aala. Saat ini banyak masyarakat kita yang mengaku beragama Islam namun tidak mau menjalankan apa yang telah diperintahkan, tidak mau menerima seluruh konsekuensi dari agama pilihannya, menerima segala aturan Allah dengan setengah-setengah dan masih percaya dengan kebiasaan nenek moyang seperti yang dilakukan oleh orang-orang quraisy.

Kedua, tidak adanya pelaksanaan hukum menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, namun hanya mengikuti hawa nafsu manusia. Dimana aturan yang seharusnya berdasarkan Al-Quran dan Hadits namun ternyata dibuat berdasarkan subjektivitas dan logika pribadi.

Ketiga, hadirnya thaghut yang membujuk manusia untuk tidak taat kepada Allah. Thaghut bukan hanya berarti berhala atau sesembahan, tetapi segala sesuatu yang di-Tuhan-kan oleh manusia. Para remaja misalnya, tidak sadar bahwa artis yang mereka idolakan bisa menjadi thaghut. Para penguasa tidak menyadari bahwa “kursi” yang mereka duduki atau kendaraan yang mereka gunakan juga bisa menjadi thaghut.

Keempat, adanya sikap menjauh dari agama Allah. Banyak manusia yang tidak merasa bersalah jika melakukan apa yang Allah larang. Kedzaliman sudah menjadi hal yang biasa, kemaksiatan menjadi pemandangan sehari-hari. Banyak orang membenarkan hal yang biasa, bukan membiasakan hal yang benar dan sesuai syariat. Kesalahan dianggap maklum, yang dicari adalah pembenaran bukan kebenaran.

Intinya, jahiliyah itu adalah syirik. Sadar atau tidak sadar, kita (termasuk saya) sering berada dalam kejahiliyahan. Bahkan kejahiliyahan dapat diatur atau diskenariokan oleh Abu Jahl-Abu Jahl modern saat ini. Bagaimana membentuk masyarakat yang takut dengan Islam, anti-syariat. Namun, kita masih bisa keluar dari kondisi ini dengan tetap berpegang pada apa yang telah diturunkan oleh Allah. Semoga kita bukan merupakan bagian dari masyarakat jahiliyah...

“Allah ta’aala Peindung orang-orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 257)

Wallahu ‘alam bishawab


Sumber inspirasi: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim, Salim A. Fillah