Siang ini air di kamar mandi tempat ku bekerja sedang mati, padahal sudah waktunya sholat dzuhur… Akhirnya ku putuskan untuk sholat di Masjid Ukhuwah Islamiyah (MUI), di samping gedung kantorku. Lebih jauh sih dibandingkan dengan mushola yang ada di lantai bawah, tapi gak apa2, setidaknya aku masih bisa mengharapkan pahala dari setiap langkahku menuju dan pulang dari masjid itu.
Hmmmm… MUI.
Jadi teringat ketika tempat itu menjadi tempat yang memiliki tingkat kenyamanan cukup tinggi buatku, terutama ketika aku masih menjadi mahasiswa kelas pagi. Sambil jalan aku mendengar seseorang sedang menyampaikan ceramah ba’da sholat dzuhur, mungkin seorang ustadz. Sebenernya sih gak terlalu fokus ngedengerin, soalnya aku langsung masuk ke tempat wudhu. Tapi ada satu kalimat yang paling aku tangkep dari ceramah ustadz itu…
“tidak ada satu makhluk pun yang tidak mengetahui siapa Tuhannya”
Setelah berwudhu segera kumasuki tempat sholat akhwat di lantai 2. Kutunaikan sholat dzuhur ditambah dengan sunnah rawatib, kemudian kubiarkan tubuhku beristirahat sejenak untuk menikmati berada di tempat ini lagi. Ternyata masjid ini masih memiliki tingkat kenyamanan yang cukup tinggi buatku! Sayangnya aku tak bisa terlalu lama karena aku harus kembali ke depan komputer untuk menyelesaikan pekerjaan dan tugas kuliah.
Selama perjalanan pulang, kucerna kembali kalimat yang disampaikan ustadz pada ceramah tadi.
“tidak ada satu makhluk pun yang tidak mengetahui siapa Tuhannya”
Tentu saja! Karna sesungguhnya setiap benda yang ada di alam raya ini berdzikir menyebut nama Allah dengan caranya masing-masing. Belum lagi manusia yang ruhnya ditiupkan disaat hari ke 120 berada di rahim ibunya, telah berjanji untuk mengakui bahwa Allah-lah Tuhan mereka.
Salah satu sifat dasar manusia adalah memiliki rasa ketergantungan. Sebagai ummat Islam, tentunya sifat ketergantungan ini seharusnya ditujukan hanya pada Allah. Kadang aku merasa heran dengan manusia yang sudah mendapatkan begitu banyak nikmat dunia (mulai dari nikmatnya sehat, bisa memakan makanan apapun yang diinginkan, mendapatkan nilai baik, pekerjaan baru dengan gaji tinggi, and the bla… bla… bla…) tetapi tidak menyadari bahwa seluruh nikmat itu berasal dari pemberian Allah. Sehingga tidak ada yang dilakukannya untuk mensyukuri nikmat-nikmat tersebut. Contoh sederhananya, mau menerima nikmat tapi tidak mau disuruh sholat.
Atau ada juga manusia yang begitu banyak mendapatkan kesulitan (rezeki tidak lancar, badan tidak sehat, mendapatkan nilai jelek, kehilangan pekerjaan, susah mendapatkan jodoh, and the bla… bla… bla…) tidak menyadari bahwa sesungguhnya yang dia terima itu adalah pemberian Allah juga. Saking tidak bersyukurnya, ia hanya bisa meratapi nasib dan menyalahkan Tuhannya tapi tidak mau merubahnya dengan beribadah lebih sungguh-sungguh.
Fabi ayyi alaa irobbikumaa tukadzibaan…
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Semoga ini menjadi sebuah renungan
Hmmmm… MUI.
Jadi teringat ketika tempat itu menjadi tempat yang memiliki tingkat kenyamanan cukup tinggi buatku, terutama ketika aku masih menjadi mahasiswa kelas pagi. Sambil jalan aku mendengar seseorang sedang menyampaikan ceramah ba’da sholat dzuhur, mungkin seorang ustadz. Sebenernya sih gak terlalu fokus ngedengerin, soalnya aku langsung masuk ke tempat wudhu. Tapi ada satu kalimat yang paling aku tangkep dari ceramah ustadz itu…
“tidak ada satu makhluk pun yang tidak mengetahui siapa Tuhannya”
Setelah berwudhu segera kumasuki tempat sholat akhwat di lantai 2. Kutunaikan sholat dzuhur ditambah dengan sunnah rawatib, kemudian kubiarkan tubuhku beristirahat sejenak untuk menikmati berada di tempat ini lagi. Ternyata masjid ini masih memiliki tingkat kenyamanan yang cukup tinggi buatku! Sayangnya aku tak bisa terlalu lama karena aku harus kembali ke depan komputer untuk menyelesaikan pekerjaan dan tugas kuliah.
Selama perjalanan pulang, kucerna kembali kalimat yang disampaikan ustadz pada ceramah tadi.
“tidak ada satu makhluk pun yang tidak mengetahui siapa Tuhannya”
Tentu saja! Karna sesungguhnya setiap benda yang ada di alam raya ini berdzikir menyebut nama Allah dengan caranya masing-masing. Belum lagi manusia yang ruhnya ditiupkan disaat hari ke 120 berada di rahim ibunya, telah berjanji untuk mengakui bahwa Allah-lah Tuhan mereka.
Salah satu sifat dasar manusia adalah memiliki rasa ketergantungan. Sebagai ummat Islam, tentunya sifat ketergantungan ini seharusnya ditujukan hanya pada Allah. Kadang aku merasa heran dengan manusia yang sudah mendapatkan begitu banyak nikmat dunia (mulai dari nikmatnya sehat, bisa memakan makanan apapun yang diinginkan, mendapatkan nilai baik, pekerjaan baru dengan gaji tinggi, and the bla… bla… bla…) tetapi tidak menyadari bahwa seluruh nikmat itu berasal dari pemberian Allah. Sehingga tidak ada yang dilakukannya untuk mensyukuri nikmat-nikmat tersebut. Contoh sederhananya, mau menerima nikmat tapi tidak mau disuruh sholat.
Atau ada juga manusia yang begitu banyak mendapatkan kesulitan (rezeki tidak lancar, badan tidak sehat, mendapatkan nilai jelek, kehilangan pekerjaan, susah mendapatkan jodoh, and the bla… bla… bla…) tidak menyadari bahwa sesungguhnya yang dia terima itu adalah pemberian Allah juga. Saking tidak bersyukurnya, ia hanya bisa meratapi nasib dan menyalahkan Tuhannya tapi tidak mau merubahnya dengan beribadah lebih sungguh-sungguh.
Fabi ayyi alaa irobbikumaa tukadzibaan…
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Semoga ini menjadi sebuah renungan